ABSTRAK
Limbah industri adalah sisa buangan atau limbah industri dapat berupa gas dan debu, cairan atau padatan. Adapun sisa buangan cair yang dikeluarkan oleh proses-proses dalam industri sering disebut air limbah industri. Keberadaan senyawa organik dalam air limbah pada kolam konvensional merupakan penyebab yang menjadikan air limbah termasuk salah satu sumber penghasil gas rumah kaca yang menjadi sebab utama perubahan iklim global, dimana senyawa organik pada air limbah akan terurai menjadi karbondioksida (CO2) dan atau metan (CH4,). Sehingga semakin tinggi tingkat produksi air limbah maka semakin tinggi pula tingkat produksi gas rumah kaca yang berarti mempercepat terjadinya perubahan iklim global. Air limbah yang berpotensi menghasilkan emisi metan adalah air limbah yang berasal dari limbah industri antara lain industri kelapa sawit, industri tapioka, industri nenas, industri karet, pabrik gula, industri makanan dan petrokimia. Mencegah terbentuknya limbah (up of the pipe), meminimalkan terbentuknya limbah, memanfaatkan limbah (reuse, recycle, recovery) serta mengolah limbah secara benar melalui pendekatan teknologi pengolahan limbah (end of the pipe) merupakan upaya-upaya mitigasi pengurangan Gas Rumah Kaca melalui pengendalian dan pengelolaan pencemaran air limbah industri. Adapun beberapa metode dalam upaya tersebut diantaranya dengan metode ko-komposting atau dengan proses digester anaerob dapat mengurangi emisi Gas Rumah Kaca, recovery metan dari IPAL, menghindari pembentukan metan pada IPAL melalui penggantian sistem anaerobik dengan sistem aerobik. Beberapa metode yang pernah diterapkan diantaranya ekstraksi metan dan pembangkit energi pada industri tepung tapioka dan penangkapan Metan dan pembakaran (combustion) pada sistem pengolahan efluen anaerobik yang telah ada.
Kata Kunci : Air limbah industri, perubahan iklim global, Gas Rumah Kaca, pengendalian
1. PENDAHULUAN
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan jangka panjang, salah satunya adalah pembangunan di bidang industri. Pembangunan di bidang industri tersebut di satu pihak akan menghasilkan produk atau barang yang bermanfaat bagi kesejahteraan hidup rakyat, namun di lain pihak kegiatan tersebut akan menghasilkan limbah seperti limbah padat, gas maupun limbah cair.
Kegiatan manusia dari berbagai kegiatan industri, di lapangan (seperti deforestasi) atau yang berkaitan dengan transportasi atau rumah tangga menghasilkan gas yang jumlahnya terus meningkat, terutama gas karbon dioksida dan metan, yang diemisikan ke atmosfer. Setiap tahunnya emisi tersebut menambah jumlah karbondioksida yang telah ada di atmosfer sekitar tujuh ribu juta ton, yang umumnya akan tetap tinggal di atmosfer selama ratusan tahun atau lebih (Houngton, 2004). Oleh karena karbondioksida dapat menyerap dengan baik radiasi panas yang berasal dari permukaan bumi lebih panas daripada semestinya. Selain itu, kegiatan industri yang menghasilkan metan dari limbah ikut berperan menyumbang panas. Dengan meningkatnya suhu, maka jumlah uap air di atmosfer juga meningkat sehingga menambah jumlah ‘penyelimutan’dan menyebabkan bertambah panasnya permukaan bumi. Bertambahnya suhu global terutama akibat pesatnya perkembangan industri memicu terjadinya perubahan iklim global, dengan kata lain terjadi pemanasan global, istilah yang akhir-akhir ini akrab di telinga kita.
Adanya limbah industri terutama dari limbah cair yang mencemari lingkungan dan pemanasan global yang berdampak pada perubahan yang besar pada iklim di bumi. Perubahan seperti ini, terutama perubahan yang terjadi dengan laju yang sangat cepat mengakibatkan sulitnya ekosistem dan manusia (terutama di negara berkembang) untuk beradaptasi. Karenanya penting dilakukan upaya mitigasi lingkungan yaitu upaya-upaya untuk mencegah dampak negatif yang diperkirakan akan terjadi atau telah terjadi karena adanya rencana kegiatan atau menanggulangi dampak negatif yang timbul sebagai akibat adanya suatu kegiatan/usaha. Salah satunya dengan melakukan pengendalian pencemaran air untuk mengatasi laju perubahan iklim global.
2. PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN IKLIM
Berdasarkan laporan IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change ; suatu badan antar pemerintah yang bertugas menilai informasi-informasi ilmiah, teknis serta informasi sosio-ekonomi terkait dengan pemahaman terhadap dasar-dasar ilmiah resiko perubahan iklim, dampak potensialnya serta opsi-opsi untuk adaptasi dan mitigasi) ke-4 tahun 2007 (IPCC, 2007), pemanasan sistem iklim dipastikan telah terjadi yang dibuktikan melalui pengamatan-pengamatan terhadap meningkatnya suhu udara dan suhu laut rata-rata global, meluasnya pelelehan salju dan es, serta meningkatnya ketinggian permukaan laut rata-rata global.
Meningkatnya suhu bumi ini telah terjadi sejak 157 tahun yang lalu, dimana pemanasan pada abad-abad terakhir terjadi dalam dua tahap, yaitu dari tahun 1910-an hingga 1940-an dengan kenaikan suhu sebesar 0,35oC, dan pemanasan yang lebih kuat mulai dari tahun 1970-an hingga akhir tahun 2006 dengan kenaikan suhu sebesar 0,55oC. Pemanasan sebesar itu telah menimbulkan perubahan pada iklim bumi yang ditandai dengan meningkatnya jumlah presipitasi (baik berupa hujan maupun salju), perubahan pola angin serta aspek-aspek cuaca ekstrim seperti kemarau, presipitasi berat, gelombang panas dan intensitas topan tropis.
Penyebab terjadinya pemanasan global yang memicu berubahnya iklim bumi juga dikaji oleh IPCC yang menyatakan bahwa kegiatan manusia merupakan kontribusi terbesar terjadinya pemanasan global. Pembakaran bahan bakar fosil dan alih guna lahan merupakan kegiatan yang mengemisikan gas rumah kaca terbesar ke atmosfer, diikuti oleh kegiatan-kegiatan lain seperti pertanian, peternakan dan persampahan. Gas-gas rumah kaca (GRK) terpenting yang menimbulkan pemanasan global tersebut adalah karbon dioksida, metan, nitrous oksida, termasuk sulfur hekasafluorida, hidrofluorokarbon dan perfluorokarbon. Gas-gas ini menimbulkan efek rumah kaca pada bumi, yang meningkatkan suhu bumi dan menimbulkan perubahan iklim.
Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam periode waktu yang panjang pada suatu wilayah tertentu. Ilmu yang mempelajari iklim disebut Klimatologi. Pengenalan cuaca dan iklim menyangkut semua peristiwa yang terjadi di atmosfir yang diantaranya radiasi surya, suhu udara, tekanan udara, angin, hujan dan awan, kelembaban udara, penguapan, keseluruhannya disebut juga unsur-unsur cuaca. Peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk daerah yang sempit atau disekitar lokasi usaha tertentu disebut iklim mikro (micro climate) (Darsiman, 2007).
Perubahan iklim dapat mencairkan es di kutub, terjadi perubahan arah dan kecepatan angin, meningkatkan badai atmosfir, seperti angin puting beliung, gelombang pasang, meningkatkan intensitas petir, perubahan pola tekanan udara, perubahan pola curah hujan (banjir dan longsor serta kekeringan), dan siklus hidrologi, serta perubahan ekosistem, hingga bertambahnya jenis organisme penyebab penyakit. Dampak dari banjir dan longsor terjadi erosi yang merusak lahan-lahan subur, terjadinya sedimentasi di sungai, danau dan laut, pendangkalan sungai yang makin mempermudah banjir. Kenaikan permukaan air laut baik oleh sedimentasi maupun oleh mencainya es di kutub, akan terjadi intrusi air laut. Intrusi berakibat air tanah menjadi asin yang dapat merusak tanah dan tanaman. Yang lebih mengerikan lagi laut akan merendam lahan pertanian di dataran rendah serta pemukiman penduduk.
3. EFEK RUMAH KACA
Gas-gas Nitrogen dan Oksigen yang dikandung oleh atmosfer tidak menyerap maupun melepaskan radiasi panas. Adapun yang menyerap radiasi panas yang dilepaskan oleh permukaan bumi adalah uap air, karbon dioksida, dan beberapa gas dalam jumlah kecil lainnya yang terdapat di atmosfer. Penyerapan ini menyebabkan penyelimutan sebagian yang menimbulkan perbedaan suhu sekitar 21oC dari suhu rata-rata bumi sebenarnya. Peristiwa penyelimutan ini dikenal dengan efek gas rumah kaca alami serta gas-gas yang berperan di dalamnya disebut dengan gas-gas rumah kaca. Efek ini disebut ‘alami’ karena seluruh gas yang ada di atmosfer (kecuali klorofluorokarbon-CFCs) terdapat di atmosfer secara alami, jauh sebelum adanya manusia di bumi (IPCC, 2007).
Efek rumah kaca alami ditimbulkan oleh uap air dan gas karbon dioksida di atmosfer dalam jumlahnya yang alami. Jumlah uap air di atmosfer sangat bergantung dengan suhu permukaan air laut dan tidak dipengaruhi secara langsung oleh kegiatan manusia. Lain halnya dengan karbon dioksida, dimana jumlah gas ini telah berubah secara substansial, yaitu sekitar 30 persen sejak revolusi Industri, akibat kegiatan industri dan penghilangan jumlah hutan. Peningkatan jumlah karbon dioksida memicu terjadinya pemanasan global permukaan bumi dengan meningkatnya efek rumah kaca.
Gambar 1. Efek rumah kaca
Energi radiasi matahari yang sampai kebumi sebagian besar berupa radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini sampai kepermukaan bumi, energi ini berubah dari cahaya menjadi panas dan menghangatkan bumi. Permukaan bumi akan memantulkan kembali sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa, sebagiannya tetap terperangkap di atmosfir bumi. Gas-gas tertentu di atmosfir termasuk uap air, CO2, CH4 menjadi perangkap radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi yang dipancarkan bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan bumi. Gas-gas tersebut berfungsi sebagai kaca dalam rumah kaca, mampu ditembus radiasi gelombang pendek tetapi tidak mampu ditembus radiasi gelombang panjang, sehingga gas-gas ini dikenal sebagai gas rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfir, semakin banyak panas yang terperangkap dibawahnya. Semua kehidupan di bumi tergantung pada efek rumah kaca ini, karena tanpanya planet ini akan sangat dingin sehngga es akan menutupi seluruh permukaan bumi. Akan tetapi bila gas-gas ini semakin banyak di atmosfir, akibatnya adalah pemanasan bumi yang terus berlanjut.
4. GAS-GAS RUMAH KACA
Gas-gas rumah kaca (GRK) adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki efek penyelimutan karena gas-gas tersebut menyerap panas yang dilepaskan oleh permukaan bumi. Gas rumah kaca yang paling penting adalah uap air, namun perubahan jumlahnya di atmosfer tidak berkaitan langsung dengan kegiatan manusia. Gas-gas rumah kaca yang penting yang dipengaruhi langsung oleh kegiatan manusia adalah karbon dioksida, metan, nitrous oksida, klorofluorokarbon dan ozon.
Tabel 1. Jenis-jenis GRK berdasarkan sumber-sumbernya
Gas Rumah Kaca | Sumber |
Karbon dioksida (CO2) | Pembakaran bahan bakar fosil, transportasi, deforestasi, pertanian |
Metan (CH4) | Pertanian, perubahan tata guna lahan, pembakaran biomassa, tempat pembuangan akhir sampah, industri |
Nitrous oksida (N2O) | Pembakaran bahan bakar fosil, industri, pertanian |
Hidrofluorokarbon (HFCs) | Industri manufaktur, industri pendingin (freon), penggunaan aerosol |
Perfluorokarbon (PFCs) | Industri manufaktur, industri pendingan (freon), penggunaan aerosol |
Sulfur heksafluorida (SF6) | Transmisi listrik, manufaktur, industri pendingin (freon), penggunaan aerosol |
Dengan demikian, Secara garis besar efek rumah kaca disebabkan oleh keberadaan CO2, CFC, metan, ozon, dan N2O di lapisan troposfer yang menyerap radiasi panas matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi. Akibatnya panas terperangkap dalam lapisan troposfer dan menimbulkan fenomena pemanasan global.
Secara umum, kegiatan-kegiatan di Indonesia yang mempengaruhi terjadinya perubahan iklim berasal dari sektor energi, kehutanan, pertanian dan peternakan, serta sampah.
Tabel 2. Emisi GRK dari sektor-sektor tersebut di Indonesia berdasarkan inventarisasi GRK
Sumber | CO2 (kT) | CH4 (kT) | N2O (kT) | CO2eq (kT) | % |
Total energi | 170,02 | 2,40 | 5,72 | 220,2 | 24,84 |
Proses industri | 19,12 | - | 0,51 | 19,15 | 2,16 |
Pertanian | - | 3,24 | 52,86 | 71,35 | 8,05 |
Perubahan tata guna lahan dan kehutanan | 559,47 | 367 | 2,52 | 567,33 | 64 |
Sampah | - | 402 | - | 8,44 | 0,95 |
Total | 748,61 | 774,64 | 61,61 | 886,47 | 100 |
5. SUMBER PEMBENTUKAN GAS RUMAH KACA DARI AIR LIMBAH
Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen pencemaran yang terdiri dari zat atau bahan yang tidak mempunyai kegunaan lagi bagi masyarakat (Agustina, dkk, 2008), sedangkan menurut ketentuan PP No.18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun jo PP No.85 Tahun 1999 tentang Perubahan PP 18/99 pasal 1 ayat (1), Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Yang dimaksud dengan sisa suatu kegiatan adalah sisa suatu kegiatan dan/atau proses produksi yang antara lain dihasilkan dari kegiatan rumah sakit, industri pertambangan dan kegiatan lainnya.
Air limbah (waste water) dihasilkan sebagai akibat dari dampak adanya kegiatan/usaha yang memerlukan air untuk proses produksinya. Menurut Sigit Hernowo (2003), sisa buangan atau limbah industri dapat berupa gas dan debu, cairan atau padatan dimana sisa buangan cair yang dikeluarkan oleh proses-proses dalam industri sering disebut air limbah industri. Kandungan air limbah sangat bervariasi tergantung dari asal kegiatannya. Air limbah dari industri manufaktur sangat berbeda dengan air limbah dari industri pertanian ataupun industri pertambangan dan migas. Namun secara garis besar komponen ataupun senyawa yang ada pada air limbah terdiri atas senyawa kimia anorganik dan organik.
Air limbah tersebut lazimnya diolah di dalam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), namun ada juga yang dapat dimanfaatkan misalnya land application pada tanaman sawit. Land application adalah pemanfaatan limbah cair dari industri kelapa sawit untuk digunakan sebagai bahan penyubur atau pemupukan tanaman kelapa sawit dalam areal perkebunanan kelapa sawit itu sendiri (Apriyanto, 2008).
Keberadaan senyawa organik dalam air limbah merupakan penyebab yang menjadikan air limbah termasuk salah satu sumber penghasil gas rumah kaca. Senyawa organik pada air limbah akan terurai menjadi menjadi CO2 dan atau metan. Senyawa tersebut lebih banyak terdapat pada Pengolahan limbah cair PMKS secara konvesional banyak dilakukan oleh pabrik karena teknik tersebut cukup sederhana dan biayanya lebih murah.
Berdasarkan sumbernya air limbah dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis limbah penghasil utamanya yaitu limbah industri dan limbah domestik. Kedua air limbah tersebut memiliki potensi untuk menghasilkan metan yang akan memberikan kontribusi terhadap pembentukan gas rumah kaca.
Air limbah domestik bisa berupa limbah/kotoran manusia yang biasanya akan terbawa aliran sungai atau tersimpan di dalam septic tank dan akan terurai menjadi metan yang mengemisi ke udara. Air limbah domestik lainnya bisa berupa air bekas cucian dari dapur. Air bekas cucian dari dapur ini biasanya membawa sisa-sisa makananan yang akan mencemari perairan dan meningkatkan nilai BOD (Biological Oxygen Demand).
Air limbah lainnya yang berpotensi menghasilkan emisi metan lainnya adalah air limbah yang berasal dari limbah industri antara lain industri kelapa sawit, industri tapioka, industri nenas, industri karet, pabrik gula, industri makanan dan petrokimia. Air limbah dapat mencemari lingkungan dan merusak ekosistem yang terkena dampaknya. Air limbah hasil pengolahan industri merupakan salah satu sumber penyebab terjadinya pencemaran air selain dari limbah domestik seperti sampah rumah tangga, deterjen, septic tank dan lain-lain. Gambar berikut ini menunjukkan beberapa sumber pencemaran air yang timbul akibat aktivitas manusia.
Gambar 2. Pencemaran Air
Beberapa contoh pengelolaan air limbah dari industri pertanian dan petrokimia diberikan bagian berikut ini :
5.1 Sumber emisi GRK dari pengelolaan air limbah industri kelapa sawit
Perkembangan bisnis dan investasi kelapa sawit dalam beberapa tahun terakhir mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Permintaan atas minyak nabati dan penyediaan biofuel telah mendorong peningkatan permintaan minyak nabati yang bersumber dari crude palm oil (CPO) yang berasal dari kelapa sawit. Hal ini disebabkan tanaman kelapa sawit memiliki potensi menghasilkan minyak sekitar 7 ton/hektar lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai yang hanya 3 ton/hektar. Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan perkebunan dan industri kelapa sawit karena memiliki potensi cadangan lahan yang cukup luas, ketersediaan tenaga kerja, dan kesesuaian agroklimat. Luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2007 sekitar 6,8 juta hektar (Heriyadi, 2009).
Karenanya tak heran, Industri pertanian yang menghasilkan air limbah yang cukup besar adalah industri kelapa sawit. Pada proses pengolahan kelapa sawit untuk memproduksi Crude Palm Oil (CPO) diakomodasi dalam unit Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dimana pada proses pengolahannya dihasilkan limbah cair dalam jumlah yang sangat besar. Pabrik Kelapa Sawit dengan kapasitas 30 ton tandan Buah Segar (TBS) per jam, jumlah limbah cair yang diproduksi sekitar 18 ton/jam (Rahardjo, 2005). Air limbah yang dihasilkannya pada saat belum diolah (inlet) biasanya mengandung BOD yang sangat besar berkisar antara 30.000 – 40.000 mg/L. Saat ini diperkirakan jumlah limbah cair yang dihasilkan oleh PMKS di Indonesia mencapai 28,7 juta ton (Isroi, 2008). Pada umumnya air limbah kelapa sawit yang keluar dari inlet ini dimanfaatkan sebagai aplikasi lahan untuk menambah kesuburan lahan pertanian yang tanahnya bukan merupakan lahan gambut. Sedangkan pada lahan gambut, air limbah kelapa sawit ini tidak bisa dijadikan sebagai aplikasi lahan, sehingga air limbahnya harus diolah terlebih dahulu sampai memenuhi baku mutu yang sudah ditetapkan sebelum dibuang ke badan sungai.
Dalam pemanfaatan air limbah untuk aplikasi lahan, limbah yang keluar dari inlet harus diolah/dialirkan terlebih dahulu ke dalam beberapa kolam penampung untuk mengurangi kadar BOD sampai di bawah 3000 mg/L. Di dalam kolam penampung tersebut akan terjadi proses anaerob untuk menurunkan kadar BOD limbah. Air limbah yang sudah memiliki BOD di bawah 3000 mg/L dialirkan melalui pipa-pipa ke areal perkebunan kelapa sawit. Dengan pemanfaatan air limbah sebagai aplikasi lahan ini dapat mengurangi jumlah pemakaian pupuk yang diperlukan.
Dalam proses pengolahan air limbah cair kelapa sawit dengan proses anaerob, disamping terjadinya penurunan konsentrasi BOD dari 40.000 mg/L menjadi 3000 mg/L dihasilkan juga gas metan ke udara.
Pabrik kelapa sawit yang lahannya berupa lahan gambut harus mengelola air limbah dengan pengolahan biasa sampai memenuhi baku mutu sebelum dibuang ke badan sungai. Pengolahan air limbah yang dilakukan hampir sama dengan pengolahan air limbah industri pertanian lainnya yang meliputi pengolahan secara fisik, biologi dan kimia apabila diperlukan.
5.2 Sumber emisi GRK dari pengelolaan air limbah industri karet
Air limbah dari industri karet dihasilkan dari proses pencucian dan penggilingan karet, sedangkan dari industri karet lateks dan pencacahannya (KLH, 2007). Pada umumnya industri karet di Indonesia, yaitu sekitar 53% dari 39 industri karet, air limbah yang dihasilkan dari proses produksi karet diolah dengan menggunakan sistem kolam (ponding), terutama pada industri yang memiliki lahan yang luas.
Sistem kolam ini terdiri dari kolam anaerobik dan fakultatif. Pada kolam anaerobik berlangsung reaksi hidrolisis senyawa organik oleh enzim ekstraseluler menjadi organik terlarut, reaksi asidogenesis terhadap produk hidrolisis, dan selanjutnya fermentasi asam volatile produk asidogenesis menghasilkan gas metan dan CO2 (KLH, 2007)
5.3 Sumber Emisi GRK dari pengelolaan air limbah industri petrokimia
Air limbah dari industri petrokimia dihasilkan dari unit-unit proses produksi. Air limbah dari unit-unit tersebut selanjutnya dialirkan ke IPAL. Proses pengolahan air limbah yang mengandung zat-zat organik diolah di IPAL. Proses pengolahan di IPAL dapat berupa pengolahan secara fisik, biologi dan kimia. Proses pengolahan secara biologi dapat berupa reaksi aerob atau anaerob. Bagi industri petrokimia yang menggunakan reaktor anaerob, gas metan yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai energi.
Industri petrokimia lainnya menggunakan proses pengolahan air limbah dengan cara aerasi, selanjutnya dengan cara netralisasi, equalisasi, koagulasi dan pengendapan. Sludge yang dihasilkan dari IPAL umumnya diolah dengan cara pembakaran (insenerasi) atau dikirim ke pihak ketiga yang telah memiliki izin. Ada juga industri petrokimia yang mengolah air limbahnya yang kaya akan zat organik dengan pembakaran dengan menggunakan liquid insenerator (KLH, 2005-2007).
Industri lain yang turut menyumbang emisi GRK berupa metan dari instalasi pengolahan air limbahnya antara lain industri pengolahan tepung tapioka, dan peternakan skala besar.
6. DAMPAK PEMANASAN GLOBAL DAN PERUBAHAN IKLIM PADA BIOTA PERAIRAN
6.1 Dampak pada pesisir dan laut
6.1.1 Kondisi kelautan Indonesia dan kaitannya dengan perubahan iklim
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 17500. Luas wilayah Indonesia meliputi 3,1 juta km2 perairan yang setara dengan 62% dari luas total wilayahnya. Dengan kondisi sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Kawasan pesisir dan laut Indonesia terkenal dengan kekayaan sumber daya alam yang menjadikan kawasan ini sebagai sumber kehidupan.
Dengan kenyataan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas dengan jumlah pulau-pulau kecil yang cukup besar, maka Indonesia termasuk negara yang memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, kemampuan untuk memperkirakan dampak perubahan iklim serta upaya-upaya mitigasi dan adaptasinya perlu dimiliki oleh Indonesia. Kemampuan ini menjadi suatu keharusan mengingat besarnya peranan laut dalam mengantisipasi perubahan iklim.
Laut juga merupakan penyerap karbon (carbon sink) dengan adanya tumbuhan dan biota laut yang memiliki kemampuan menyerap karbon. Indonesia dengan luas lautnya yang sangat besar memiliki potensi penyerapan karbon sebagai berikut :
Tabel 3. Perkiraan total CO2 yang diserap ekosistem laut dan pantai Indonesia
No. | Ekosistem | Luas Area (Km2) | Penyerapan CO2 (juta ton CO2/tahun) |
1 | Terumbu Karang | 61.000 | 73.5 |
2. | Mangrove | 93.000 | 75.4 |
3. | Padang Lamun | 30.000 | 56.3 |
4. | Laut (open sea) | 5.800.000 | 40.4 |
Total | 245.6 |
6.1.2 Dampak pemanasan global dan perubahan iklim pada pesisir dan laut Indonesia
Laut menutupi 70% permukaan bumi dan memegang peranan penting dalam lingkungan global. Laut mengatur iklim bumi, laut juga berfungsi sebagai daerah wisata, media transportasi, tempat berkumpulnya informasi genetika dan biologi, dan sebagai penampungan limbah. Sekitar 20% penduduk bumi hidup di kawasan pesisir laut. Kawasan pesisir merupakan lingkungan yang paling beragam dan prodiktif di antara kawasan-kawasan lainnya di dunia. Namun saat ini laut dan kawasan pesisir di dunia telah mengalami tekanan yang disebabkan oleh berbagai faktor sepperti tekanan pertambahan penduduk di kawasan pesisir, eksploitasi dan penghancuran habitat, meningkatnya pencemaran baik dari atmosfer, darat, maupun dari sungai. Berbagai tekanan tersebut akan meningkatkan kerentanan kawasan pesisir dan laut terhadap perubahan iklim (Mclean and Tsyban, 2001).
Pemanasan global yang terjadi saat ini sangat memberi dampak pada kawasan pesisir dan laut, dimana pada kawasan tersebut terdapat ekosistem yang kompleks seperti hutan mangrove, batu karang dan rawa payau. Pada berbagai ekosistem tersebut, pemanasan global mempengaruhi sifat-sifat fisik, biologi dan biokimia laut dan pesisir sehingga merubah struktur ekologis, fungsi dan penyediaan barang serta jasa yang diberikan oleh laut dan pesisir. Terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim menimbulkan berbagai kejadian ekstrim yang berdampak pada laut dalam skala luas diantaranya :
- kenaikan muka air laut;
- kenaikan suhu air laut;
- meningkatnya intensitas dan frekuensi kejadian badai dan angin topan;
Terjadinya kenaikan muka air laut disebabkan oleh peningkatan suhu rata-rata bumi secara global yang mengakibatkan berkurangnya luas tutupan es di kutub serta akibat ekspansi termal air laut. IPCC (2007) memperkirakan bahwa abad ke-20 terjadi kenaikan muka air laut dengan laju sekitar 1,7 mm per tahun. Eustaria, belukar perairan laut, pantai serta daerah rendah pada daerah pantai merupakan daerah-daerah yang rentan dengan adanya kenaikan muka air laut. Intrusi air laut akan mempengaruhi sungai-sungai serta daerah perairan pantai lainnya.
Laporan Kurnia, dkk (2004) salah satu penyebab pencemaran atmosfir adalah kegiatan industri, pertambangan, pertanian/perkebunan besar, yang tetap berjalan tanpa hambatan. Terjadinya pemanasan global akibat meningkatnya gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh penggunaan bahan bakar fosil terutama oleh industri dan kendaraan bermotor seperti CO2, CFC, CH4, O3 dan N2O berdampak mencairnya es dikutub sehingga muka laut makin naik, yang meningkatkan laju intrusi dan menenggelamkan desa-desa pantai dan meningkatkan abrasi pantai.
Kenaikan muka air laut juga mengancam kehidupan masyarakat nelayan yang dapat ditemukan pada hampir setiap pulau di Indonesia. Tidak hanya itu, lima dari enam kota di Indonesia yang berpenduduk setidaknya satu juta orang berada di daerah pantai, dimana kegiatan sosio-ekonomi, infrastruktur, serta institusi terkonsentrasi di sepanjang garis pantai (ADB, 1994).
Kenaikan muka air laut ini telah dipantau oleh Bakosurtanal sejak tahun 1984 dengan menempatkan stasiun pengamatan di beberapa daerah. Dari pengamatan tahun 1984 hingga 2002, daerah pantai Tajung Priok, Semarang dan Jepara menunjukkan kenaikan muka air laut rata-rata sebesar 8 mm per tahun (Sutisna dan Manurung, 2002).
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan, dalam dua tahun saja (2005-2007) Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil. Pulau-pulau tersebut antara lain tiga pulau di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tiga di Provinsi Sumatera Utara, tiga pulau di Papua, lima pulau di Kepulauan Riau, dua pulau di Sumatera Barat, satu pulau di Sulawesi Selatan, dan tujuh pulau di kawasan Kepulauan Seribu (RANPI, 2007). Selain itu, berdasarkan data Bakosurtanal di beberapa daerah di Indonesia seperti Jakarta, Jepara, Batam, Kupang, Sorong telah terjadi kenaikan muka air laut akibat pemanasan global hingga rata-rata 5-10 mm per tahun selama kurun waktu 1990-2000. Dengan laju kenaikan ini diperkirakan dalam 25 tahun terakhir muka air laut telah naik hingga 25 cm, selain itu sekitar 405 ribu hektar kawasan pesisir di Indonesia akan tenggelam dalam waktu abad ke depan, namun menurut pakar kelautan, pencairan kutub akibat pemanasan global bukanlah satu-satunya penyebab tenggelamnya kawasan pesisir. Penyedotan air tanah dan tingginya curah hujan serta perigee (posisi dimana jarak bumi dan bulan paling dekat sehingga mempengaruhi tinggi pasang air laut) juga menimbulkan tenggelamnya kawasan pesisir.
Kenaikan muka air laut juga terbukti meningkatkan intrusi air laut yang mengurangi ketersediaan sumber air bersih terutamabagi masyarakat di daerah pesisir. Meningkatnya erosi pantai juga akan mengancam 12 dari 92 pulau kecil terluar Indonesia (RANPI, 2007). Selain itu, naiknya muka air laut juga akan merusak lahan budidaya perikanan yang dimiliki oleh masyarakat di kawasan pesisir. Tidak hanya sebatas itu, kenaikan muka air laut juga dapat berakibat hilangnya lahan milik penduduk serta kerusakan infrastrukrur yang berada di sekitar daerah pantai seperti yang pernah diberitakan oleh beberapa media massa. Kesemuanya ini akan memperburuk kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
Kenaikan suhu air laut
Kenaikan suhu rata-rata bumi secara global juga memicu terjadinya peningkatan lelehan tutupan salju dan es dalam skala global. Menurut IPCC (2007), kontribusi total lelehan gletser, tutupan es dan lapisan es terhadap naiknya muka air laut diperkirakan sebesar 1,2 ± 0,4 mm per tahun selama periode 1993 hingga 2003.
Meningkatnya suhu air laut sebesar 0,2 hingga 2,5oC akan mempengaruhi pertumbuhan dan kecepatan reproduksi organisme yang hidup di daerah laut tropis. Telah ditemukan pada daerah pantai Jakarta banyak batu karang yang mati akibat bleaching. Batu karang memegang peranan penting dalam daur hidup spesies laut dan mempengaruhi habitat laut. Perubahan yang terjadi pada habitat laut akan mempengaruhi ekosistem pantai sehingga mempengaruhi ketersediaan ikan-ikan spesies tertentu dan berdampak pada tangkapan nelayan-nelayan di Indonesia.
Peningkatan suhu muka air laut diantaranya juga akan mempengaruhi sirkulasi air, memutuskan rantai makanan, yang pada akhirnya akan mengurangi produktifitas sumber daya laut. Dari beberapa studi yang telah dilakukan dilaporkan bahwa bisnis pariwisata di Indonesia juga dapat terpengaruh dengan terjadinya pemanasan global.
Peningkatan frekuensi dan intensitas badai tropis dan angin topan
Sejak pertengahan 1970-an telah terjadi kecenderungan jangka waktu badai yang lebih lama dengan intensitas yang lebih besar, dimana aktivitas ini sangat berhubungan dengan suhu permukaan laut tropis (IPCC, 2007). Berbagai temuan menunjukkan bahwa jumlah angin topan kategori 4 dan 5 telah meningkat sebesar 75% sejak tahun 1970, dengan peningkatan terbesar terjadi di daerah Pasifik Utara, Samudera India dan Samudera Pasifik Barat Daya. Selain jumlah angin topan di daerah Atlantik Utara juga telah berada di atas normal dalam 9 dari 11 tahun terakhir yang mencapai puncaknya pada tahun 2005 (IPCC, 2007). Indonesia sendiri dalam beberapa tahun terakhir ini telah terjadi beberapa kali kejadian angin topan dan badai yang cukup merugikan terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir.
7. UPAYA MITIGASI PERUBAHAN IKLIM
7.1 Upaya mitigasi melalui perubahan iklim melalui pengelolaan air limbah industri
Upaya mitigasi dalam pengelolaan air limbah agar tidak menghasilkan gas rumah kaca dilakukan sejak awal proses produksi dengan melakukan tindakan proaktif, antara lain :
- Mencegah terbentuknya limbah.
- Meminimalkan terbentuknya limbah.
- Memanfaatkan limbah.
- Mengolah limbah secara benar.
Industri kelapa sawit memiliki potensi penurunan emisi CO2 sebesar 14 juta ton, sedangkan industri tapioka sebesar 4 juta ton (KLH, MOE-J&IGES, 2006)
7.2 Upaya mitigasi perubahan iklim dari air limbah industri yang dapat di CDM-kan
Beberapa metodelogi yang berkaitan dengan air limbah industri yang dapat mengurangi emisi GRK menurut Badan Eksekutif CDM adalah sebagai berikut :
- Emisi gas metan yang berasal dari pengolahan air limbah industri dapat dikurangi melalui skenario berikut :
b) Air limbah diolah pada suatu IPAL. Sludge dihasilkan dari kolam pengendapan pertama dan/atau kedua. Sludge tersebut dialirkan ke kolam sludge yang memiliki kondisi anaerobik. Air limbah diolah pada IPAL yang sama dengan kondisi sebelumnya. Sludge dari kolam pengendapan pertama dan/atau kedua diolah dengan salah satu cara atau kedua cara tersebut :
i) Sludge diolah pada suatu digester anaerobik* baru. Biogas yag diekstraksi dari digester anaerobik dibakar dan/atau untuk pembangkit listrik atau panas. Residu dari digester anaerob setelah pengolahan dialirkan ke kolam terbuka atau diolah di bawah.
ii) Sludge (bak lumpur)* diolah di bawah kondisi aerob (misalnya pengeringan dan aplikasi tanah).
*Bak lumpur : Suatu bak atau tanki dimana lumpur cair yang tidak diolah dipompakan dan disimpan selama sekurangnya satu tahun. Bakteri anaerob menguraikan lumpur cair tersebut dan mengurangi kandungan organik, yang menghasilkan emisi CO2, CH4, Hidrogen Sulfida (H2S), dan Amonia. Pada saat bak dikeringkan dan lumpur dalam keadaan stabil, padatan diambil dan digunakan misalnya sebagai pupuk untuk tanaman non-pangan.
*Digester anaerob : Pada digester anaerob, bagian lumpur atau air limbah yang dapat terdegradasi secara biologis diubah menjadi CH4 dan CO2 oleh bakteri. Gas-gas tersebut (biogas) dikumpulkan dengan cara yang dikendalikan. Beberapa desain digester aerobik dapat digunakan. Biogas dapat digunakan untuk pembangkit listrik, pemanasan, atau dapat dibakar (flared).
- Pengurangan emisi metan dari air limbah organik menggunakan ko-komposting.
- Recovery metan dari IPAL
- Menghindari pembentukan metan pada IPAL melalui penggantian sistem anaerobik dengan sistem aerobik; metode ini digunakan untuk menghindari pembentukan metan dari senyawa organik pada air limbah yang diolah pada sistem anaerobik dimana pada metode ini tidak melakukan penangkapan atau pembakaran metan pada IPAL.
- Ekstraksi metan dan pembangkit energi pada industri tepung tapioka (Budi Acid Jaya, 2006)
- Penangkapan Metan (Indotirta, 2006)
8. UPAYA ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM PADA KAWASAN PESISIR DAN LAUT
Sebagaimana dikutip dari RANPI (2007), upaya-upaya adaptasi terhadap perubahan iklim yang dapat dilakukan di kawasan pesisir dan laut sebagai berikut :
- Pengelolaan pesisir pantai secara terpadu melalui Integrated Coastal Management yang dilakukan melalui penanaman hutan bakau (mangrove), seperti yang dilakukan pada pantai utara Jawa, pantai timur sumatera dan beberapa provinsi seperti NAD dan Sumatera Utara. Program ini bertujuan antara lain untuk memberdayakan potensi masyarakat termasuk kaum perempuan, mencegah kerusakan tanaman pantai yang juga berfungsi untuk penyerapan karbon. Hal tersebut juga untuk mengembangkan potensi ekonomi yang lain seperti ekowisata, pembuatan arang dari batok kelapa untuk daerah pantai sehingga sumber energi yang dipergunakan masyarakat tidak berasal dari kayu bakau.
- Penyusunan draft Pedoman Konservasi Air (sumur resapan dan penampungan air) dan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air.
- Pengelolaan terumbu karang dilakukan dengan cara transplantasi seperti yang dilakukan di perairan Sabang. Transplantasi karang adalah pencangkokan atau pemotongan koloni karang hidup untuk dipindahkan dan ditanam atau dipindahkan dan ditanam atau dipindahkan ke tempat lain, dengan tujuan untuk mempercepat regenerasi terumbu karang yang rusak.
- Pembangunan struktur penguat pantai digunakan untuk mengurangi erosi air laut pada pesisir pantai seperti yang dilakukan di Tanah Lot menggunakan model tetrapod. Namun tidak semua lokasi dapat menggunakan model yang sama, karena teknologi yang digunakan pada suatu lokasi harus memperhatikan pola arus gelombang laut setempat.
9. SIMPULAN
- Sisa buangan atau limbah industri dapat berupa gas dan debu, cairan atau padatan dimana sisa buangan cair yang dikeluarkan oleh proses-proses dalam industri sering disebut air limbah industri.
- Keberadaan senyawa organik dalam air limbah merupakan penyebab yang menjadikan air limbah termasuk salah satu sumber penghasil gas rumah kaca dimana senyawa organik pada air limbah akan terurai menjadi menjadi CO2 dan atau metan. Seiiring pesatnya industri, produksi air limbah meningkat sehingga mempercepat kerusakan bumi akibat perubahan iklim yang semakin ekstrim.
- Perubahan iklim global berkaitan dengan pengendalian pencemaran air dalam hal upaya mitigasi dampak perubahan iklim global. Adapun upaya mitigasi tersebut diantaranya mencegah terbentuknya limbah (up of the pipe), meminimalkan terbentuknya limbah, memanfaatkan limbah (reuse, recycle, recovery) serta mengolah limbah secara benar melalui pendekatan teknologi pengolahan limbah (end of the pipe). Selain itu dilakukan pula upaya adaptasi perubahan iklim terhadap kawasan pesisir dan laut yang merupakan kawasan yang paling terkena dampak.
- Perubahan iklim akibat global warming berdampak pada ekosistem pesisir dan perairan, karena itu dilakukan upaya mitigasi melalui pengelolaan air limbah industri sebagai bentuk pengendalian pencemaran air dan minimalisasi produksi gas-gas penghasil rumah kaca.
0 komentar:
Posting Komentar